Kun Anta
Kun Anta - AksaraJingga.Com |
Karya oleh Lily Apriliana
Apa yang terlintas dalam benakmu saat mendengar kata 'malam lebaran'? Mungkin, menghabiskan waktu semalam dengan kumandang takbir? Atau pegal perjalanan menuju kampung halaman? Oh, jangan-jangan keliling kota bersama pacar?
Haha, maaf. Bercanda. Aku tahu kamu jomlo. Sudah, tidak perlu merajuk apa lagi merutuk. Seperti anak kecil saja.
Eh, maaf. Aku salah lagi. Kamu sama sekali tidak bisa aku sandingkan dengan anak kecil yang selalu bebas berekspresi. Kamu sudah menginjak usia dewasa, bukan? Pasti ada cerita di balik topeng itu. Kisah yang kamu pendam dalam-dalam di lubuk hati nan jauh di sana. Katakan jika tebakanku salah.
Tidak jauh berbeda darimu, aku juga punya sesuatu yang kupendam sendiri. Tepatnya, aku simpan agar bisa kubuka setiap rindu datang.
Sialnya, detik ini juga rindu bertamu di kalbuku. Dia ingin melihat ulang tayangan Ramadhan waktu lalu. Apa kamu mau ikut? Silakan, tapi tidak ada sajian di sini. Aku sudah kerepotan melayani rindu.
*
Malam 1 Syawal. Seluruh umat Muslim bersuka cita. Sudah kodrat, sibuk menyiapkan berbagai camilan dan menata meja. Bersiap menyambut esok hari.
Setelah Isya nanti, aku ada janji dengan anak-anak kampung. Aku tidak paham, padahal usiaku dua puluh dua. Akan tetapi, anak-anak mulai usia tiga tahun—yang paling kecil—hingga lima belas tahun gemar sekali menarik ujung bajuku. Membawaku memasuki dunia mereka.
"Teh Uci!" Lihat! Baru saja aku selesai menata toples-toples, mereka sudah berjajar di depan rumah. Suaranya timpal-menimpal, memanggil namaku. Enggan berhenti hingga aku membuka pintu.
Ngomong-ngomong, teteh bukan sebutan yang umum di daerah tempat tinggalku. Aku dipanggil teteh atau neng karena ibuku asli Sunda.
Aku keluar membawa sekotak biskuit. Menyapa mereka dengan senyuman. "Mau biskuit?"
Satu anak mengangguk—yang paling muda, usia tiga tahun. Sisanya, serentak menggeleng. "Ayo Teh, nanti ketinggalan kembang api besarnya, lho!"
"Iya, Teh!"
"Ayo cepat, Teh!"
Desakan demi desakan semakin menggerakkan tanganku untuk mengembalikan kotak biskuit ke dalam rumah dan kembali ke luar demi mengunci pintu.
Kami berjalan bersama menuju satu-satunya masjid di kampung. Menanti tradisi sederhana, acara kembang api. Kembang api utama akan dimainkan pukul sembilan. Ini masih pukul delapan.
"Teh, kalau nanti tiba-tiba ada yang menelepon mau melahirkan bagaimana?" Celetuk anak usia tujuh tahun. Rambutnya dikuncir kepang. Dia adalah kakak dari anak tiga tahun yang mengunyah biskuit dariku.
Belum aku jawab, ada anak lain yang menyahut. Usianya sebelas tahun. "Mana bisa? Ini kan, malam spesial! Bayinya ditahan saja sampai seminggu. Baru boleh keluar. Masa iya, Teh Uci harus tetap bekerja tanpa henti walau di hari besar?"
"Heh, sudahlah! Toh, nyatanya sekarang tidak ada yang memanggil Teh Uci untuk membantu melahirkan." Kali ini anak usia lima belas tahun yang menjawab.
Cuap-cuap mereka tidak aku dengarkan lagi. Mereka beradu pendapat. Sedangkan pikiranku melayang ke tempat lain. Pertanyaan kecil tadi melemparku ke titik terendah dalam hidupku. Meninggalkan lini waktu pahit yang harus kuhadapi dimana merupakan malam lebaran pertamaku tanpa kedua orang tua.
"Iya kan, Teh Uci?" Seseorang menyenggol lenganku. Ternyata dia anak lima belas tahun.
"Apa, sayang?" Alam bawah sadarku kembali ke tempat yang seharusnya.
Gadis sebelas tahun mendecak. Kesal karena menyadari aku tidak menyimak mereka.
Anak yang paling lugu menjawab—si tujuh tahun yang tadi bertanya. Dengan sabar, dia mengulang kembali pertanyaannya.
"Tidak apa-apa, Teh Uci. Lupakan pertanyaan tidak penting itu," potong gadis lima belas tahun. Kuakui, di antara yang lainnya, dialh yang paling bijak dan disegani anak lainnya. Entah karena dia paling tua atau karena sikap sangat tegasnya.
Tanpa mengacuhkan perkataan si lima belas tahun, aku mengusap rambut si tujuh tahun. Jangan lupa seulas senyum. "Tentu saja aku akan pulang. Sudah menjadi resiko seorang bidan, Nindi. Harus selalu siap menolong setiap waktu. Meskipun mendadak."
Selama perjalanan ke masjid, kami selalu disapa tetangga. Sekali-dua kali kami berhenti, sekadar basa-basi. Memang, tampaknya tidak ada yang penting. Tapi di baliknya, basa-basi seperti inilah yang merukunkan warga setempat. Mempererat tali silaturahim. Beberapa anak di sepanjang jalan yang kami lalui bergabung. Melompat kecil dengan senyum tersungging. Lalu, mereka asik bercerita satu sama lain. Semangat sekali berlomba menceritakan ibu siapa yang masak paling enak untuk besok.
Aku menatap hamparan bintang. Indah. Tak kalah indah dengan kerlap-kerlip di kampung kesayanganku. Kampungku tergolong ketinggalan zaman. Letaknya terpencil di sudut sebuah pulau. Belum banyak yang memiliki atau berniat memiliki alat elektronik seperti gawai hingga televisi. Itu jawaban dari banyaknya tumpukan koran di pos ronda yang dipenuhi bapak-bapak penggemar kopi dan catur.
Meski sudah ada listrik, kampung kami hanya sedikit menggunakannya. Contohnya lampu. Orang-orang kampung lebih memilih lampu minyak ketimbang lampu listrik untuk menerangi penjuru rumah.
Suara anak-anak semakin ramai. Bukan hanya dari gerombolan yang berangkat bersamaku saja, melainkan juga gerombolan anak di depan yang sudah memenuhi halaman masjid lebih dulu. Kami segera menyatu dengan mereka. Jujur, berbaur bersama mereka membuatku seolah kembali ke dunia masa kecil. Haha-hihi tanpa beban.
"Teh Uci, kalau besar nanti, aku mau jadi seperti Teteh," ujar salah satu anak lain. Dia tidak ikut dalam gerombolanku tadi.
Aku menoleh padanya, mengabaikan langit yang mulai berhias kembang api kecil. "Memangnya kenapa?"
"Teteh cantik, baik, ramah, bidan pula. Teteh keren, bisa sekolah di kota. Aku ingin seperti itu. Kemudian kembali ke kampung, menjadi bidan kebanggaan warga."
Hatiku mencelos. "Kamu yakin mau menjadi sepertiku?" Hei, aku tidak sehebat itu. Aku hanya mengabdikan diri demi kampung tempat ayahku lahir.
Dia mengangguk mantap. Rambut hitam yang digerainya tersapu angin. "Lihat, Teteh punya banyak penggemar di sini. Setiap binar mata di halaman masjid ini menyukaimu, Teh. Kamu idola kami. Kamu sudah dewasa, tapi tidak pernah sekalipun besar kepala seperti yang lain. Mereka sok sibuk. Tidak mau diajak main bersama. Sedangkan, lihat Teh Uci. Teh Uci yang super sibuk, masih mau bermain dengan anak kecil seperti kami. Teh Uci memiliki tempat spesial dalam hati kami masing-masing."
Sekejap, aku merenung. Anak sembilan tahun ini terkenal akan kejujurannya. Di satu sisi, memang aku yang paling sering membaur dengan anak-anak dibanding teman seumuranku lainnya. Sejak aku kuliah di kota empat tahun lalu, karena keterbatasan alat komunikasi, aku menjadi jarang bersapa dengan teman sebayaku. Tiga tahun kemudian, ketika aku sudah menyelesaikan pendidikan, tahu-tahu mereka sudah memiliki pendamping hidup.
"Dasar, manusia!" Aku terkekeh. "Aku ingin jadi kamu yang berbas bermain, sedangkan kamu ingin menjadi sepertiku."
"Cih, lebih baik jadi diri sendiri. Tak perlu lah kamu ingin menjadi seperti Teh Uci. Belum tentu kamu mampu. Masing-masing dari kita sudah memiliki jalan. Ikuti jalanmu. Boleh, kamu mengidolakan orang lain sebagai motivasi. Namun jangan sekali-kali kamu ingin menjadi orang itu." Si anak lima belas tahun mendekat ke arahku. Kata-katanya ditujukan kepada si sembilan tahun.
"Memangnya kenapa, heh? Teh Uci seseorang yang selalu tampak bisa menikmati hidupnya. Aku sangat ingin seperti dia. Apakah tidak boleh? Suka-suka aku, dong! Bilang saja kamu iri pada Teh Uci!"
Anak lima belas tahun mengerutkan dahi. Emosinya terpancing. "Sudah kubilang, belum tentu kamu mampu! Apa kamu bisa sekuat Teh Uci yang orang tuanya meninggal kecelakaan di perjalanan, tepat pada hari wisudanya? Kalau aku sih, paling sudah bunuh diri. Bagaimana denganmu? Kamu kan lembek!"
"Hust, Tania!" tegurku. Inilah sisi lain si anak bijak, mulutnya pedas.
Anak sembilan tahun itu mengangguk. Dia sudah terbiasa akan sikap si lima belas tahun. "Kak Mia benar, Teh Uci. Aku lembek. Aku lupa fakta itu."
Aduh-aduh, aku langsung pusing. Jika sudah seperti ini, si sembilan tahun akan susah kembali ceria. Sekali dia disinggung, dia akan terus memikirkannya. Bukannya fokus pada nasihat si lima belas tahun, dia malah meratapi ejekan yang diberikan.
"Siapa bilang kamu lembek?" Aku mengangkat dagunya yang tertekuk ke bawah. "Kamu anak paling lembut yang kukenal. Kamu setia kawan, penuh kasih sayang. Tapi, apa yang dikatakan Kak Mia ada benarnya. Tidak perlu ingin menjadi orang lain. Jadilah dirimu sendiri. Sebelumnya terima kasih sudah menjadikanku idola."
Sepertinya hati si sembilan tahun membaik. Pipinya sedikit bersemu hangat. Secara tak sadar, aku tersenyum. Kami kembali terfokus pada langit malam dengan kembang api-kembang api kecil yang saling bersahutan. Si lima belas tahun berjalan ke warung sebelah setelah mendengar keluhan si sembilan tahun. Dia membeli minuman dingin. Semoga minuman dingin itu bisa mendinginkan kepalanya yang mudah panas.
Seru juga melihat anak-anak gembira hanya karena kembang api. Baik laki-laki maupun perempuan. Mereka berkejaran, bercerita, dan berbagi makanan.
Hanya anak sembilan tahun yang masih di sisiku. Dia lebih banyak diam. Kurasa dia masih memikirkan perkataan anak lima belas tahun tadi.
"Kamu mau aku ramal?" kataku, mencoba menghibur.
"Tidak, ramalan itu dosa."
Aku mendengus. "Baiklah, frontal saja. Setiap orang memang tidak bisa menjadi orang lain. Kamu tidak bisa menjadi sepertiku dan aku tidak bisa menjadi sepertimu. Yang kuyakini, ada saru sisi darimu yang akan membawa besar namamu."
"Ini bukan ramalan, kan, Teh?"
“Bukan, Sayang.”
“Katakan padaku apa itu, Teh.”
Aku sengaja memberi jeda. Pandanganku menyisir lautan bocah-bocah manis di depan. Mungkin, ini menjadi akhir Ramadhan pertamaku tanpa keluarga. Seperti yang dikatakan anak lima belas tahun, orang tuaku meninggal kecelakaan dalam perjalanan menghadiri hari wisudaku setahun lalu.
Kakek nenekku juga sudah berpulang. Tidak mengapa, aku masih punya dua sepupu dari keluarga adik perempuan ibuku. Sayangnya, mereka tinggal di Ibu Kota.
"Teh?"
Aku masih belum siap menghadapi esok hari. Rumah pasti sepi. Siapa yang akan berkunjung ke rumah kalau tidak ada orang tuaku? Percuma aku menata toples-toples berisi ragam camilan. Ujung-ujungnya, kumakan habis sendiri.
Itu pemikiranku pada mulanya. Siapa sangka, rombongan anak kecil di kampung lah yang justru meramaikan rumahku. Mereka murni berkunjung. Salah satu anak lelaki sepuluh tahun tukang pelawak asal bicara, "Kami kemari agar tidak ada ibu hamil yang mendekati rumah Teteh. Dia akan putar balik begitu melihat rumah ini penuh." Suasana pecah. Mereka berkunjung hingga sore hari, menghabiskan seluruh hidangan yang tersaji. Aku senang melihatnya.
Seharusnya malam itu aku sadar. Anak-anak ini juga merupakan keluargaku.
"Teh?!" Sentak anak sembilan tahun. Tepukannya di lenganku menyadarkanku dari lamunan.
Aku tersenyum, menyeka setitik air mata. "Kamu tahu? Aku selalu mendengar rima dalam katamu. Sederhana, tapi indah didengar. Imajinasimu juga kuat dan liar." Aku mantap lamat-lamat manik mata manisnya. "Jangan biarkan mereka terkurung. Bebaskan, lepaskan, lihat bagaimana mereka tumbuh. Hiraukan saja kata orang yang menganggapmu terlalu halu. Percaya padaku. Putri duyung, peri, portal, dimensi lain, mereka semua nyata. Mereka hidup dalam imajinasimu."
Anak itu menunduk, menggeleng sedih. "Jangan lambungkan harapanku, Teh. Sakit rasanya. Menelan kenyataan bahwasannya mereka tidak ada. Tidak pernah ada."
Aku menggeleng lebih kuat. Aku tegapkan kedua pundaknya, memaksanya agar melihat mataku dengan baik. "Aku selalu mendengarkan seluruh ceritamu. Ingat?"
Dia mengangguk. "Hanya Teh Uci. Yang lain tidak."
"Itulah yang mereka tidak ketahui. Seluruh makhluk mitos yang kamu pikirkan adalah nyata. Teteh bisa merasakan hembusan napasnya, mereka hidup dalam imajinasimu."
"Mereka tidak ada di dunia ini, Teh."
Sebelah tanganku menangkup pipi merahnya. Kulitnya putih mulus, mencolok dengan tanganku yang langsat. "Lantas, kenapa kau tidak coba buat duniamu sendiri dan membiarkan mereka hidup di dalamnya?"
Tidak ada raut keputusasaan lagi di wajahnya. Hal ini membuatku senang.
"Bagaimana caranya, Teh? Aku bukan Tuhan."
"Menulis. Mereka bisa hidup dalam tulisanmu."
Dia tertawa remeh. "Aku tidak sehebat J. K. Rowling, Teh."
Aku melepas tanganku dari tubuhnya. Sehela napas berembus pelan. "Aku suka semua cerita yang kau bicarakan padaku. Sayangnya aku pelupa. Beda lagi kalau kamu menuliskan cerita itu. Aku bisa membaca ulang saat lupa."
"Teteh terlalu berharap besar padaku."
"Terserah. Kutunggu karyamu, Lian."
Bertepatan dengan berakhirnya percakapan, kembang api utama yang besar mulai melangit. Aku dan Lian sama-sama menatap angkasa. Bedanya, Lian menatap hampa. Tubuh mungilnya memang ada di sampingku dan matanya menengadah. Aku bisa melihat cerminan kembang api pada bola mata jernihnya. Namun, pikirannya berkelana entah kemana. Mungkin mencari jalan atas peta yang kuberikan. Atau justru, dia kembali memikirkan Shikamaru, Kiba, dan pacar-pacar gepengnya yang lain.
Lian, Ramadhan tahun ini, aku tutup dengan harapan besarku padamu. Mana aku tahu, seminggu kemudian kamu pindah kota.
Sekarang sudah hampir memasuki Ramadhan ke-9 setelah kepergianmu dari kampung. Apa kabar jemari mungilmu itu? Apakah dia sudah mulai mengetik naskah? Kuharap, aku bisa membaca tulisan pertamamu. Bertemu dengan Peri Nurani, Putri Laut, dan semua makhluk hidup dalam duniamu. Aku curiga, jangan-jangan kamu sudah ternak domba biru seperti keinginanmu dulu, ya?
Kudengar, kamu pindah ke pulau seberang, ya? Sayang sekali, kita terpisah tanpa sempat mengucap salam. Tidak apa-apa. Dimana pun kamu berada, aku yakin kamu tidak akan melupakanku.
Salam rindu, Bidan Wulan Suci.