Ramadhanku yang Ramai Namun Terasa Sepi
Ramadhanku yang Ramai Namun Terasa Sepi - AksaraJingga.Com |
Karya oleh Kyfana
Bulan ramadhan datang lagi. Tidak seperti ramadhan sebeleum-sebelumnya yang terasa ramai, ramadhan kali ini justru terasa sepi. Sangat sepi—mungkin terlampau sepi hingga tak jarang dengungan di telinga terdengar nyaring. Bukan perkara tidak ada kebisingan, atau pula perkara rumah yang hanya dihuni seorang diri.
Adik-adiknya Fiya masih sering bertengkar menciptakan kerusuhan. Ibunya juga masih sering berteriak karena lelah dengan kerusuhan itu. Bapaknya juga masih menjadi satu-satunya orang yang sempat memutar musik di kala kerusuhan terjadi, sangat bising.
“Itu celana dalamku, abang!”
“MasyaAllah, dek! Celana dalam cowok iki! Ada gambar spiderwomannya. Nih, liat, nih!”
“Iku aku yang beli, pakdee!!”
“Pakde, pakde! Dia abangmu, loh!” Pembelaan itu membuat Erol meledek Hara. Erol yang sudah menginjak kelas satu SMA, senang sekali mencari keributan dengan Hara yang masih kelas tiga SD.
“Abang juga!” Sesaat setelah itu, raut wajah Erol berubah total. Fiya diam-diam tertawa dibuatnya. “Udah gede masih aja seneng ngegoda adiknya. Yo kenapa kalau adikmu make gambar spiderus? Kan semuanya sama aja!”
Fiya dibuat kesusahan menahan tawanya agar tidak meledak karena ucapan sang ibu. Tadi Spiderwoman, sekarang spiderus. Yang benar itu spiderman! Ada-ada saja kekuarganya ini.
“Bapak juga!” Bapak yang sedang menimkati syahdunya nyanyian Nisa Sabyan langsung tersedak ludah sendiri. “Sudah mau buka, masih aja nyanyi-nyanyi! Mending kalian semua siap-siap buat buka!”
Mereka semua langsung bergegas, tak terkecuali Fiya. Dia tidak ingin ikut kena semprot hanya karena tak menuruti keinginan ibu.
Sembari menuju ke kamar, samar-samar Fiya mendengar gumaman ibu. “Hari pertama puasa rusuhnya minta ampun. Gak kasian apa mereka sama tetangga?” Yang mana membuat tawa Fiya menjadi-jadi.
Tapi begitu dia masuk ke dalam kamarnya, tawanya lenyap begitu saja. Dirinya merasa sepi memang bukan perkara rumahnya tidak ramai, melainkan perkara tiadanya satu orang penting di rumah ini.
Sesak. Sejujurnya Fiya tidak sanggup merasakan ramadhan tahun ini. Ramadhan adalah bulan yang paling ia senangi. Karena hanya di saat-saat ramadhan dia bisa menghabiskan waktunya full bersama dia. Hanya saat itu, dia bisa pulang dan mereka bisa membahas banyak hal. Namun tahun ini, atau mungkin tahun-tahun berikutnya, Ramadhan akan menjadi bulan penderitaannya.
Padahal sejak bulan lalu, Fiya sudah merencanakan banyak hal di bulan Ramadhan ini lewat telfon. Bahkan dia sudah menulis list untuk sebulan itu. Seperti apa yang ia lakukan sewaktu sahur, sewaktu menjelang siang, sebelum berbuka, malam taraweh, dia sudah membahasnya sebelumnya. Bersama dia—Fayyadh, saudara kembarnya.
Tapi 2 minggu kemarin, Fayyadh meninggalkannya tanpa aba-aba. Pergi ke tempat yang begitu jauh, hingga Fiya tak sanggup mengikuti jejaknya. Padahal mereka berjanji akan bersama, tapi kenapa dia malah pergi terlebih dahulu? Meninggalkannya bersama sejuta penyesalan dan kekosongan.
Sahur pertama, biasanya Fiya dan Fayyadh yang akan memasak untuk keluarganya, begitu pun ketika berbuka. Lalu menjelang buka puasa, sebelum memasak, biasanya Fiya dan Fayyadh bersama Erol dan juga Hara akan memainkan sebuah permainan. Entah itu kartu, pancasila 5 dasar, uno, jenga, atau permainan random lainnya.
“Main itu gunanya mencari kesenangan. Kalian kalau main ujung-ujungnya berantem, apa gunanya kita main? Harusnya kalian nikmati. Kalau masih mau berantem, Mas sama Mbak Fiya pergi aja.”
“Mas gak boleh gitu!”
“Loh, terus piye? Kalian juga udah gak seneng mukanya. Hah... padahal mas jarang datang ke sini. Sekalinya datang kalian malah gini. Jangan-jangan selama mas gak ada, kalian kayak gini bikin ibu stress? Lain kali gak usah ngadu lagi, deh, kalau dicubit sama ibu. Emang bagus kalau kalian dicubit!”
Ketika isya, mereka berangkat bersama ke masjid. Kadang yang lucu, ketika Fiya hanya pergi berdua bersama Fayyadh, orang-orang akan menegur mereka seperti, “Bulan puasa, puasanya full, sholatnya bagus, tapi masih pacaran apa gunanya?" yang mampu membuat Fiya dan Fayyadh tertawa hingga perut mereka sakit.
Lagi-lagi kenangan terlintas di kepala Fiya. Semakin sesak pula yang ia rasa. Harusnya hari ini, mereka bersama seperti sebelumnya. Tapi... kenapa?
Sejak pagi tadi, yang dirasakan Fiya hanya kekosongan dan sedih. Sesekali mungkin dia tertawa, sesekali mungkin dia marah, sesekali mungkin dia misuh-misuh, tapi lebih daripada itu, hanya kosong yang sangat terasa untuknya. Terlebih ketika dia sendiri dan jauh dari keluarganya.
Dinginnya suhu kamarnya tak membantu sama sekali. Dirinya yang sudah kedinginan akibat kosong, dibuat semakin menggigil hingga tubuhnya bergetar. Lalu perlahan kakinya melemas, dan ia biarkan jatuh bercumbu dengan dinginnya lantai. Lantas air matanya menyeruak keluar. Semakin deras tangisnya, semakin sesak pula yang dia rasakan.
Rasanya Fiya tidak bisa menghadapi ramadhan kali ini pun ramadhan berikut. Ramadhan hanya akan mendatangkan sesak untuknya. Fiya berharap ramadhan tidak akan pernah datang lagi, kecuali dia membawa kembali saudaranya yang telah pergi. Meski ia tau harapannya tidak akan pernah terkabul.
"Fiya... kenapa nak? Ada apa?"
Tau-tau ibunya datang dengan wajah panik. Mungkin Fiya terlalu lama di dalam kamar dan suara tangisnya yang tak bisa ia cegah mengundang ibunya tergesa-gesa untuk memeluknya.
"Aku mau Mas Fayyad balik, bu. Aku—aku mau Mas Fayyad balik..."
Ibu lantas mempererat pelukannya mendengar kalimat itu terucap dari anaknya. Dipikirnya Fiya satu-satunya orang yang paling cepat mengikhlaskan Fayyadh. Tapi nyatanya, Fiya yang paling terluka atas meninggalnya Fayyadh. Baru hari ini dia menyadarinya.
“Mas Fayyadh... kenapa harus pergi jauh?”
Ramadhan akan tetap datang dengan waktu yang akan menggiringnya ke sana. Fiya tak yakin, apakah dia bisa lebih kuat dari saat ini ketika ramadhan kembali tiba?
"Fiya kamu perlu tau, sebagai manusia kita tidak bisa terlalu lama larut dalam kekosongan dan kesedihan, karena dunia tidak benar-benar hancur hanya karena Fayyadh gak ada. Ikhlasin mas-mu, yah?" Bapak berujar demikian, tapi dalam hati dia berkata lain. Ramadhan kali ini, ia biarkan anaknya larut dalam kesedihan itu. Setelahnya, baru ia akan membuatnya perlahan terbiasa tanpa kehadiran saudaranya.
- The End -