CERPEN 2 Edisi Ramadhan: Kenangan Si Bulan Suci

Kenangan Si Bulan Suci

[CERPEN]  Kenangan Si Bulan Suci - AksaraJingga.Com
[CERPEN]  Kenangan Si Bulan Suci - AksaraJingga.Com

Karya oleh Suki

Ramadhan adalah bulan suci yang selalu dinanti setiap tahun oleh umat Islam di seluruh dunia. Sebagaimana kita tahu, setiap mukmin wajib melaksanakan puasa selama tiga puluh hari di bulan Ramadhan, namun ada pengecualian yang boleh meninggalkan puasa yakni orang yang sedang sakit, musafir, orang yang sudah lanjut usia, wanita hamil atau menyusui dan wanita yang sedang haid. Mereka boleh menggantinya dengan membayar fidyah atau mengganti puasanya di luar Ramadhan sesuai jumlah hari tidak melaksanakan ibadah puasa.

"Salma, tolong belikan gula sebentar, nak!" Ah, sepertinya aku harus mengakhiri kegiatan menulisku, dan bersiap membantu Ibu untuk menyiapkan makanan untuk berbuka nanti.

"Iya, Bu sebentar," sahutku kemudian.

Selang beberapa langkah aku sampai di dapur, dan melihat Ibu sedang memotong buah pisang, ubi jalar, dan singkong.

"Ibu, mau buat kolak ya?" tanyaku pada Ibu.

"Iya Sal, cuman gulanya kurang. Cepet gih, beliin gula ke warung Mpok Sari." Ibu menyodorkan uang sepuluh ribuan.

"Siap Bu, ada yang kurang lagi gak? Nanti sekalian Salma belikan."

"Nggak ada, tinggal gula aja Sal," jawab Ibu yang masih sibuk memotong.

"Emm, kolang-kaling Bu?"

"Ada tuh, di wadah." Ibu menunjuk panci yang berisi kolang-kaling.

Setelah Ibu berucap, segera aku ke warung untuk membeli gula. Pukul lima sore segala makanan sudah tersaji di meja makan, sembari menunggu berbuka puasa aku menyibukkan diri dengan bertadarus Al-Qur'an dan berharap semoga di bulan yang suci ini bisa mendapat pahala yang berkah.

Alhamdulillah, waktu berbuka telah sampai. Kami sekeluarga berbuka dengan makanan yang begitu nikmat rasanya, beberapa jam sudah memasuki waktu Isya dan salat tarawih. Seperti biasa aku melaksanakan salat di masjid dekat rumah, kami berangkat bersama dengan berjalanan kaki, suasana cukup ramai karena banyak anak-anak berlalu lalang dengan menyalakan mercon yang mereka bawa. Sungguh, jika melihat pemandangan seperti itu membuat hatiku nyaman dan senang karena di bulan Ramadhan biasanya suasana beda dengan hari-hari biasa di luar Ramadhan.

"Assalamualaikum, Pak, Bu, Salma," sapa seseorang pada kami.

"Waalaikumussalam. Lho, kamu udah pulang nak?" tanya Bapakku kemudian.

"Inggih Pak, Alhamdulillah tahun ini bisa pulang. Sudah, kangen banget saya Pak, pulang ke kampung halaman," jawabnya, dengan ekor matanya yang melirik ke arahku, dan aku hanya bisa menunduk malu.

Kami melanjutkan jalan, serta Bapak yang masih asyik mengobrol dengannya, dan bertukar cerita. Dia seorang pemuda, yang bernama Rasyid usianya dua puluh empat tahun dan selisih umur kami hanya empat tahun. Rasyid memang jarang pulang ke kampung ini di karenakan ia menjadi santri kepercayaan di tempat menuntut ilmu agama, selama ini. Diantara pemuda yang lain di kampungku memang hanya Rasyidlah yang melanjutkan ke pesantren setelah lulus dari sekolah dasar. Di samping wajahnya yang rupawan akhlak dan kepribadiannya sangat baik, tak jarang para orang tua di sini seringkali menjodohkan dengan anak gadisnya tetapi Rasyid kadang menolak dengan alasan masih belum pantas menjadi imam rumah tangga yang akan ia pimpin nantinya, itulah kata Bapakku setelah pulang dari salat tarawih tadi.

Tring!

Suara handphoneku berbunyi, dan aku segera meraih ponselku. Mataku tak berhenti menatap isi pesan itu, jujur aku merasa deg-degan dan juga sedikit kaget tak percaya.

[Assalamualaikum Salma, lusa saya ingin silaturahmi ke rumahmu boleh kah?]

[Waalaikumsalam, nanti saya tanya Bapak dulu ya, mas] balasku dengan tangan gemetar.

[Baiklah, sampaikan pada Bapak, kedua orang tuaku juga ikut serta]

Aku tak membalas pesannya lagi, sungguh jatungku terasa bergetar, tak percaya bahwa seorang Rasyid mengirimiku pesan dan ingin ke rumahku serta membawa orang tuanya. Jujur, aku sangat senang dan bahagia karena bagaimanapun aku juga seperti gadis lain di sini, yang mengagumi Rasyid bedanya aku menyimpannya dalam diam tak seperti mereka yang terang-terangan mengungkapkannya.

Hari yang di tunggu telah tiba, selepas salat tarawih Rasyid beserta orang tuanya pun datang. Mereka saling berpelukan dan berbasi-basi, sedangkan aku hanya diam memperhatikan mereka semua, tetapi yang membuatku canggung Rasyid menatapku sebentar, dengan memberikan senyuman yang manis itu.

"Makasih lho Bu, sudah bersedia datang kesini," seru Ibuku pada mereka.

"Sama-sama Bu, sebenarnya udah lama pengin kesini. Tapi, kata Rasyid nanti saja sekalian iku gitu, jadi nunggu dia pulang dari pesantren dulu deh," ungkap Ibu Rasyid dengan sesekali tertawa, sementara Rasyid hanya tersenyum.

"Gini Bu, Pak. Sebenarnya selain silaturahmi, rencananya anak kami, Rasyid. Ingin melamar Salma, mohon maaf jika mendadak, tetapi dengan niat baik ini kami sempatkan untuk memberitahu Bapak dan Ibu."

Aku cukup terkejut, Bapak dan Ibu juga kaget, setelah penuturan orang tuanya Rasyid.

"Apakah sudah yakin nak, Rasyid?" Bapakku bertanya pada Rasyid.

"Insya Allah sudah Pak, saya ingin menjadikan Salsa sebagai bidadari pendamping seumur hidup saya. Jika berkenan di malam dua puluh satu Ramadhan nanti, bisa dilaksanakan lamarannya," jelas Rasyid, aku dapat melihat kesungguhan di matanya.

"Baiklah, saya ngikut anak saya, Salma."

"Bagaimana Salma?" tanya Bapaknya Rasyid.

Aku mengangguk sebagai jawaban. Karena jujur saking bahagianya, aku tak bisa berkata-kata.

"Alhamdulillah."

Itulah terakhir kalinya aku melihat senyum bahagia Bapak dan Ibu dan juga Rasyid beserta keluarganya. Calon suamiku, yang kini tak akan pernah bisa menikah ataupun bersatu dengannya. Sungguh, aku tak tega melihat mereka menangis dan bersedih, di sudut ruangan ini aku juga tidak bisa apa-apa. Aku berkata, menyebut, menyentuh, dan memeluk namun sayang, mereka tak bisa merasakan itu semua.

"Salma, sudah lama aku menunggumu. Tetapi, kenapa bisa?" Aku dapat mendengar gumaman sedih Rasyid, tak mampu tangisku juga luruh di hadapannya. Lagi dan lagi dia tak bisa melihatku. Andai, saja di malam itu aku tak jadi pergi keluar, andai saja aku mendengarkan larangan Bapak dan Ibu serta Rasyid untuk tidak ikut buka bersama bareng teman-tamanku. Andai saja aku tidak egois kala itu, karena aku pikir mengikuti buka bersama  adalah hal yang terakhir untukku  sebelum aku menjadi istri Rasyid dan menjadi ibu rumah tangga untuk selamanya. Tetapi malah berakhir dengan hal yang tak terduga seperti ini.

"Pemirsa, para pelaku aksi bom bunuh diri yang menewasakan beberapa warga di desa Ingin Damai kini telah ditangkap, indentitas belum di ketahui secara pasti. Namun, semua pelaku kini terancam hukuman mati. Sekian, yang dapat kami laporkan, selanjutnya akan diinfokan beberapa saat lagi."

Semua orang yang mendengarkan acara liputan berita di televisi meraung, menangis, dan bersyukur orang jahat yang telah tega membuat onar di bulan Ramadhan ini telah ditangkap. Setidaknya, aku merasa sedikit lega, Ibu, Bapak maafkan Salsa belum bisa membuat bahagia selama ini. Untukmu Rasyid, aku juga minta maaf tak bisa menjadi bidadarimu sekarang, mungkin di alam sana kita masih bisa berjodoh. Dan aku juga memintamu jangan bersedih karena aku, carilah bidadari yang lain untuk menemani selama di dunia ini. Air mataku menetes, lalu aku tersenyum dan beranjak karena waktunya sudah habis, aku tidak bisa lagi menemani mereka di depan jazadku, cahaya putih terang kini telah datang dan membawaku terbang dengan damai bersamanya.

•••Selesai•••

Aksara Jingga

Media literasi yang mencakup komunitas dan pasar permintaan

Post a Comment

Previous Post Next Post
IKLAN VIDEO